Mengenai Saya

Foto saya
My Name : dr. Jopie Artha Alhitya Dane .Spa Kita hanya miliki waktu yang terbatas. Ketika cahaya masih bersinar di atas sebelum kau ditelan gelap Dan aku kembali terlelap Kau hanya semu katanya, tidak pernah nyata Tapi hanya dirimu yang begitu dekat denganku selain Tuhan dan Bundaku.

Sabtu, 17 Desember 2011

Apakah Desember Sudah Hendak Berakhir?

Aku telah mengakrabi perasaan ini sekian lama. Angin utara ketika nelayan-nelayan mengasingkan diri meski terus memeluki lautan sepanjang malam. Seperti itulah perasaan yang tak pernah sampai, rasa pahit yang sia-sia menyentuh pangkal lidah. Aku hendak memisahkan diri, pergi dari diri sendiri.
Kau berdiri di tepi bibir pantai. Hendak kemana dengan gelombang paling tinggi sepanjang Desember ini? Lautan sedang ganas, pulau-pulau yang dulu selalu ada salam mimpi-mimpi kita sudah tak berpenghuni. Aku tak sudi hidup dalam pengasingan dan dipermainkan angin asin sepanjang hari, hanya demi cinta yang tak pernah usai di penghujung setiap tahun. Kenangan yang tak selesai, seperti petani garam berladang.
Ah kekasihku, apakah rasa cinta akan abadi, bahkan senja saja tidak pernah serupa? dan kita merindui senja terindah yang paling lembut di tahun yang terlupa. Aku pangling demi melihat langit paling bening dan ikan-ikan menampakkan diri, berenang di kaki-kaki kita yang telanjang, terapung di dada-dada kita yang kehilangan ruang. Aku terus saja memeluki harapan ini, dan lautan tenggelam dalam sunyi yang paling tenang.
Kita pelayar, dan berlayar harus mengenali cuaca yang paling ekstrem, bukan? Tetapi kita pelupa yang lebih sering kehilangan arah dan tersesat di lautan tanpa rambu-rambu. Barangkali nelayan-nelayan akan mati tenggelam , menyerahkan diri pada cinta yang tak pernah terkecap meski bising desing angin menawarkan aroma asin di lidah-lidah yang kehilangan kecup. Aku tahu arti kehilangan, tentu saja.
Ah kekasihku, apakah Desember sudah hendak berakhir? Ikan-ikan ketakutan pada lautan. Aku takut pada rumah, pada kenangan tentangmu, seperti gelombang paling pasang. Dan di matamu yang paling kekasih, aku justru tenggelam sampai ke palung. Nelayan-nelayan mengenali rasi bintang sebagai cara untuk pulang, kita melihat bintang sebagai upaya untuk mempertahankan kenangan.
Lihatlah, aku bagai lautan yang kehilangan segala-galanya. Nelayan tak pernah melaut. Perahu tak pernah hanyut. Amis ikan sudah larut bersama garam. Begitulah. Begitulah Desember merampungkan segala yang tak berkesudah, merangkum segala yang hendak kita lupakan.

Antara Ya, Hening, Dan Tidak



aroma natali mengemas 
sepasang mata mungil di balik jendela salju
adakah kereta santa kan lewatinya?
rambutnya hitam
matanya lentik bintang
dari kejauhan kusulurkan pesan
selama masih ada rambat udara

ya, bila itu selaras hendak
hening, cenderung sesak
tidak, mungkin, inilah saatnya kita berhak me-mi-lih

Waktu

Waktu merambat sangat cepat. Kau ada pada tahun-tahun yang lalu dan menghilang. Asa, rasa, apalagi? Tak ada yang abadi. Semuanya memiliki tenggat, batas waktu yang tak bisa kita tawar meski mulutmu terkadang begitu buas dan berbisa, melebihi segala bisa. Pada akhirnya kenangan mengekalkan apa-apa yang lebih kekal ketimbang ingatan kita yang payah.
Kehilangan seperti trauma. Kau menahan air mata pada sebuah siang yang kemudian hilang dari ingatan. Seperti teman-teman masa kecil yang kadang kita lupa namanya. Tetapi apa-apa yang terjadi adalah berbeda ketika kita kemudian ingin mengenangnya sekali lagi, sekali lagi dan berharap tak tersisa lagi luka di sana. Kau mengendap pada pikiranku setelah bertahun-tahun aku pergi dan berikrar tak akan pernah pulang.
Aku memang tidak pernah pulang. Segala tempat yang kusinggahi adalah rumah, persis seperti ketika kau menanggalkan apa-apa yang aku tunggu. Ah sudahlah, kepergian dan kepulangan bukan persoalan yang begitu penting sekarang. Barangkali aku dan kau sudah gila dibuat oleh waktu dan dibuai oleh dendam yang tak punya mata.
Dendam memang tidak punya mata, bagaimana menurutmu? Sebab ia tidak melihat yang jauh  berjatuhan dari pelupuk mata. Apakah masih hendak kau memupuk dendam sementara disini aku bergetar menahan kerinduan yang semata? Sudahlah, kita sama-sama tak pernah mampu memaafkan sesungguhnya.
Waktu merambat sangat cepat dan tiba-tiba saja aku panik menyadari cita-cita yang semakin menjauh dari jangkauan.  Aku kehilanganmu padahal sesungguhnya aku kehilangan diriku sendiri. Alangkah menyedihkan bahwa akupun tidak memahami kenyataan.

Tertahan Rindu


Selimut dingin berbenang air beku di titik nol membuatku menggigil ditimpa rasa yang tak pernah surut. Ranjangku jengah ditiduri ruang hampa di dalam jiwa yang sekedar ingin tahu sedang apa kau di sana. Bintang dan bulan berkolaborasi mengompori rasa rindu yang makin mirip dengan buntalan air  tanpa ujung, mengikuti arus namun malah terseret lebih jauh dan dalam.
Jika saja tak pernah kulihat dirimu saat hujan menyapa, aku takkan bersedia memayungimu jika akhirnya kutahu kemana takdir mengelabui hati. Aku menyukai jejak yang ditinggalkan butir-butir bening itu, membuat rambutmu berantakan namun menciptakan aksen unik di setiap helainya.
Setiap peri akan mudah jatuh hati padamu, termasuk manusia biasa sepertiku. Kucoba meraih sauh, namun benda itu terkoyak angin dan membiarkanku makin terombang-ambing kesulitan mengartikan tatapan yang berbisik.
Syaratku mencinta tak pernah dapat menyerah semudah anak panah yang menembus dada, membingungkan pikiran dan memanipulasi keadaan menjadi keagungan di atas harapan. Apa salahku sampai kau tega hadir dan membunuhku dengan senyum itu?
Aku tak dapat menemukan definisi yang tepat untuk menguraikan satu rasa yang terpikat malaikat cinta. Jika ada, sudah kukirimkan lewat nada dan guratan alur sehingga dapat kau dengar dan baca tanpa harus meminta bantuan siapapun kecuali hatimu. Entah kapan aku akan membisikkan rasa itu, dan akupun tak tahu kapan akan melihat bayanganku di matamu. Entahlah. Yang kutahu, cinta dan rindu tak membutuhkan kata untuk hidup dan bertahan. Cinta dan rindu hanya membutuhkanmu. Hanya kamu.

Tertahan Rindu


Selimut dingin berbenang air beku di titik nol membuatku menggigil ditimpa rasa yang tak pernah surut. Ranjangku jengah ditiduri ruang hampa di dalam jiwa yang sekedar ingin tahu sedang apa kau di sana. Bintang dan bulan berkolaborasi mengompori rasa rindu yang makin mirip dengan buntalan air  tanpa ujung, mengikuti arus namun malah terseret lebih jauh dan dalam.
Jika saja tak pernah kulihat dirimu saat hujan menyapa, aku takkan bersedia memayungimu jika akhirnya kutahu kemana takdir mengelabui hati. Aku menyukai jejak yang ditinggalkan butir-butir bening itu, membuat rambutmu berantakan namun menciptakan aksen unik di setiap helainya.
Setiap peri akan mudah jatuh hati padamu, termasuk manusia biasa sepertiku. Kucoba meraih sauh, namun benda itu terkoyak angin dan membiarkanku makin terombang-ambing kesulitan mengartikan tatapan yang berbisik.
Syaratku mencinta tak pernah dapat menyerah semudah anak panah yang menembus dada, membingungkan pikiran dan memanipulasi keadaan menjadi keagungan di atas harapan. Apa salahku sampai kau tega hadir dan membunuhku dengan senyum itu?
Aku tak dapat menemukan definisi yang tepat untuk menguraikan satu rasa yang terpikat malaikat cinta. Jika ada, sudah kukirimkan lewat nada dan guratan alur sehingga dapat kau dengar dan baca tanpa harus meminta bantuan siapapun kecuali hatimu. Entah kapan aku akan membisikkan rasa itu, dan akupun tak tahu kapan akan melihat bayanganku di matamu. Entahlah. Yang kutahu, cinta dan rindu tak membutuhkan kata untuk hidup dan bertahan. Cinta dan rindu hanya membutuhkanmu. Hanya kamu.

Adalah...

Adalah malam,
Sepi dan sunyi,
Langit bertabur bintang,
Terkadang berkawan bulan,
Sering menghantam kenangan,
Membawa aroma nostalgia,
Antara aku dan dia
Adalah pagi,
Tak pernah ingkar janji,
Hadirkan mentari,
Hangatkan hari,
Terkadang kicauan burung menemani,
Seperti cintaku dan dia yang telah terpatri,
Di palung sanubari
Adalah siang,
Hangat mentari berubah menjadi terik matahari,
Banyak peluh menitik dr ujung kepala hingga ujung kaki,
Berjuang demi sesuap nasi
Layaknya aku dan dia,
Peluh juang menjaga cinta,
Yang terpisah jajaran kota
Adalah sore,
Perlahan mengubah biru langit menjadi jingga,
Menenggelamkan matahari,
Sebentar kemudian menghadirkan bulan
Dan ialah sore,
Selalu menunjukkan kesetiaan,
Menunggu pagi dan siang dengan tenang,
Lalu menidurkannya dengan memejamkan matahari,
Hingga menutup hari dengan gelap,
Ikhlas...Dan tanpa pamrih
Inilah aku dan dia,
Menjaga rasa setia,
Hingga akhir menutup mata,
Ikhlas...Dan tanpa pamrih

paruh cinta


langit senja berhias memerah
itu warna pipiku
ketika mengendap bayangmu
dalam palung hati...
dan malam menyerah pasrah
bintang menggantung helai rambut
di pucuk-pucuk
rembulan bersinar menganga
menghangatkan luruh
menepis gundah

Jumat, 02 Desember 2011

Kan Kuukir Satu Cinta Lagi


Mungkin aku nggak boleh nulis kata seindah bulan
mungkin aku hanya boleh diam bagai patung batu tak bernyawa dan tak bisa kukatakan bahwa kau yang kucinta
mungkin aku harus terdiam dan hanya boleh memendam satu perasaan yang luar biasa yang seharusnya dari dulu kukatakan sebelum dirinya hadir dihatimu
tapi kini yang ada hanya kata terlambat
yang ada hanya rasa penyesalan dan membekas dihatiku yang telah berkarat ini
telah sekian lama aku coba selalu menerima, sekian waktu kucoba selalu tegar
Tapi kenapa? kenapa bahagia yang aku inginkan tak pernah hadir dalam hidupku?
aku sudah puas disakiti, aku sudah jemu dikhianati
aku sudah bosan patah hati dan aku sudah letih lama menanti
menanti cinta suci tertulus dari hati yang terdalam
mungkin harus kuakhiri penantianku yang sia-sia ini
mungkin harus kuhapus rasa yang telah lama mengakar dihatiku ini
aku harus coba melupakan semua rasa pahit dijiwa yang merenggut bahagia dihatiku
biarlah kuukir lagi cinta yang lebih indah
rindu yang lebih hebat dan akan kuberitahu dunia bahwa aku takkan bersedih karena patah hati dan takkan terluka karena cinta