Mengenai Saya

Foto saya
My Name : dr. Jopie Artha Alhitya Dane .Spa Kita hanya miliki waktu yang terbatas. Ketika cahaya masih bersinar di atas sebelum kau ditelan gelap Dan aku kembali terlelap Kau hanya semu katanya, tidak pernah nyata Tapi hanya dirimu yang begitu dekat denganku selain Tuhan dan Bundaku.

Rabu, 21 September 2011

USTAD SAMIN BACA PUISI - (Ruang Terbuka buat para Sahabat)


CERMIN USTAD SAMIN (11)http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/298679_2007844118624_1319318535_31968844_3051780_a.jpg

USTAD SAMIN BACA PUISI

            Agak bingung saya dengan sikap Ustad Samin di perayaan tujuhbelasan yang diselenggarakan di lingkup RT 13 tadi pagi sampai sore. Semua orang dari anak-anak sampai orang dewasa semua bergembira ria menyambut HUT RI, tapi Ustad Samin justru seperti orang kehilangan gairah. Wajahnya murung seperti awan tertutup mendung.

            Diajak lomba lari karung, nggak mau. Diikutsertakan tim panjat pinang, menolak. Pokoknya semua jenis permainan yang ditawarkan ditolak. Bahkan permohonan Pak RT untuk membacakan do’a di acara malam hiburan dan pembagian hadiah pun ia tolak.

            “Kalau nggak ikutan perlombaan-perlombaan, saya bisa maklum, pak Ustad. Tapi kalau sudah tak mau membacakan do’a untuk Indonesia, berarti Ustad… ?”
            “Saya cinta Indonesia, saya sayang Indonesia.”
            “Kalau memang cinta, kalau memang sayang. Mengapa untuk mendoakan saja tak mau ?”
            “Apa artinya do’a kalau dilantunkan dalam suasana hura-hura. Untuk apa kita berdo’a kalau hanya untuk mensejahterakan para penguasa yang sepanjang kemerdekaan ini hanya bisa mengumbar angkara murka, demi kepentingan kelompok dan diri sendiri. Untuk apa ?”

            Biyuh…biyuuuhh…ada apa dengan ustadku yang samin ini ? Tumben-tumbenan dia mikirin negara. Diam-diam rupanya dia juga memperhatikan perilaku para penguasa yang memang kalau kita mau jujur, telah membuat kehidupan di negeri ini semakin amburadul. Bisa-bisanya si Ustad ngomong begitu. Jangan-jangan dia sedang kerasukan roh para pahlawan yang gentayangan karena penasaran ?

            “Pak Ustad,” kata saya pelan, tenang dan hati-hati. Maksudnya agar beliau juga ikutan tenang hatinya. “Indonesia ini kan milik kita juga. Milik saya, milik pak Ustad, milik seluruh rakyat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke.”
            “Dulu memang iya. Sejak Soempah Pemoeda diikrarkan, kita semua berbangsa satu bangsa Indonesia.”
            “Sekarang ?”
            “Indonesia udah somplak. Tanah dan air berikut isinya hampir habis dikuras dan dikuasi para penguasa negeri yang notabene adalah putra-putri terbaik ibu Pertiwi.”
            Nahlo, ibu Pertiwi dibawa-bawa.
            “Memangnya ibu Pertiwi itu siapa sih, Tad ?” tanya saya menggoda. Maksudnya ingin mencairkan suasana.
            “Ibu Pertiwi adalah pemilik sah republik ini. Sejak kita merdeka dia terus berduka, sampai saat ini ia terus bersusah hati karena ulah para putra putrinya. Kesedihan ibu Pertiwi adalah tangis negeri ini. Negeri yang katanya subur makmur gemah ripah loh jinawi.”

            Saya hanya bisa terpana memandang Ustad Samin. Heran dan kagum campur aduk jadi satu mengaduk-aduk hati saya.

            “Kalau begitu mari kita ber do’a untuk ibu Pertiwi saja, pak Ustad.”
             Belum sempat Ustad Samin berkata, sang Pembawa Acara Malam Tasyakuran Kemerdekaan RI, mempersilahkan Ustad Samin naik ke atas pentas untuk membacakan do’a sebagai penutup acara. Saya segera menggandengnya naik ke atas panggung. Alhamdulillah, beliau menurut saja.

             Setelah hadirin tenang dalam khidmat, Ustad Samin mengucap salam lalu berkata.
             “Hadirin sekalian, kita semua tahu dan mengaku pernah melihat ibu Pertiwi yang sedang bersusah hati. Tapi kita semua tak pernah ada yang mau tahu di manakah sekarang dia berada.
              Ketahuilah saudara-saudara sekalian. Tangis ibu Pertiwi adalah tangisan negeri ini. Kita harus menemukan di mana ibu Pertiwi berada. Kita harus menghentikan tangisnya dan membuatnya bahagia. Marilah kita bersama-sama berdo’a untuk menghapuskan kesedihan ibu Pertiwi yang tak lain adalah duka negeri ini.”

             Para hadirin seperti terbuka ruang kesadarannya. Dengan khidmad semua menanti lantunan do’a. Tapi ternyata Ustad Samin malah membacakan sebuah puisi.

DAN IBU MASIH TERUS MENANGIS
Sekian puluh tahun lamanya ibu bersusah hati
air matanya berlinang
mas intan berkilauan
dibawa orang ke seberang lautan

sekian puluh tahun lamanya ibu merintih dan berdoa
hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan untuk anak cucu
dibawa orang ke negeri seberang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar