Begitu banyak kautemui penantian demi penantian di sepanjang jalan hidupmu. Entah itu di sebuah kafe kecil di sudut kota, di sebuah peron, bahkan di terminal yang sepi. Kau lebih suka duduk diam sambil ditemani sebatang rokok dan secangkir kopi yang kadang mulai mendingin. Hujan pun kadang turut menemanimu di dalam sebuah penantian yang mungkin tak kunjung selesai.
Kau lebih menyukai gelap malam sebagai tempat persembunyianmu yang sempurna. Sebab itu kau membenci cermin, jendela atau pun permukaan danau yang bisa memantulkan bayangan dirimu. Di bangku sebuah taman kautemui kebohongan di antara pasangan yang berjanji temu di hari pertama. Bukankah kebohongan itu serupa dengan janji yang diingkari oleh si lelaki pelukis langit terhadap sang bidadari?
Ada penantian seorang Bardo di balik terali besi yang dibalas sebuah pengkhianatan oleh Anastasia yang telah menyandera hatinya. Juga penantian seorang Anamira yang ditinggal Didra, pujaan hatinya yang meregang nyawa di tengah lautan yang bergelombang. Dan penantian panjang seorang Aditia yang mencintai Aina seumur hidupnya hingga di sebuah beranda panti jompo.
Kutulis lagi di sini puisi indah yang pernah kautuliskan di bangku sebuah bus stand untuk seorang bernama Aina:
sendiri diam-diam
aku pun menyerah
tinggalkan riuh gemuruh
hidup seluruh
aku tak lagi hirau
pada semua fana dunia
biarlah sunyi menjadi sepi
mati juga sendiri…
Hujan masih turun. Dan kau berlari menembus hujan itu. Membawa semua pertanyaan yang memberati kepalamu. Kau terus berlari dalam hujan. Sampai kini kau masih terus berlari. Tak pernah berhenti. Tak mau berhenti. Sebagai Sang Penanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar