Mengenai Saya

Foto saya
My Name : dr. Jopie Artha Alhitya Dane .Spa Kita hanya miliki waktu yang terbatas. Ketika cahaya masih bersinar di atas sebelum kau ditelan gelap Dan aku kembali terlelap Kau hanya semu katanya, tidak pernah nyata Tapi hanya dirimu yang begitu dekat denganku selain Tuhan dan Bundaku.

Selasa, 21 Juni 2011

KULEPAS KAU SETELAH HUJAN...

Hari ini, kulepaskan kau dari hatiku.
Hari pertama sejak aku memutuskan untuk membuang semua mimpi-mimpi yang entah ke tempat sampah tadi malam. Ternyata tidak ada yang berubah. Padahal dulu aku selalu berpikir, tanpanya, duniaku akan berubah abu-abu, itu sebabnya rasa takut menghantuiku. Tanpanya, bumi seketika bergoncang lalu badai maha dasyat melanda dan menenggelamkanku ke dasar sunyi yang paling maut. Kegelapan mengekal lalu bulan pecah dan gemintang berguguran satu per satu dari rantingnya. Itu sebabnya aku terus berkutat dengan sajak-sajak rindu yang semu. Aku takut tersedak air mataku sendiri.

Nyatanya, pagi ini, mentari masih menyapaku dengan ramah, menyapu sisasisa embun di pucuk dedaunan. Aku masih menyimak deru mesin yang terburu-buru di jalanan ditimpali omelan para ibu karena harga sembako yang tak jua bermurah hati. Dan aku masih harus berjibaku dengan 2 detik terakhirku yang paling berharga agar tidak terlambat masuk kantor, masih mengerjakan tugas-tugas yang membosankan lalu melakukan rutinitas lainnya yang percayalah sangat tidak penting. Ternyata semua masih sama seperti kemarin, tidak ada yang berubah.

Benar kata bidadari penenun air mata, tak seharusnya aku terjebak dalam penantian yang entah. Karena dia memang jelmaan dari entah yang tentu saja melahirkan mimpimimpi yang entah. Benar ujarnya, buat apa membuang waktu percuma, berdiri di stasiun sambil menggenggam setia karena jadwal keberangkatan itu memang tidak pernah ada. “Anggap saja sepakat yang pernah terjalin hanya sekedar basa-basi, mungkin saat itu kalian kehabisan bahan perbincangan sementara sunyi bosan menjadi sajian pertemuan kesekian yang entah.”

Sempat aku menyalahkan cupid tersebab salah melesakkan anak panah ke jantungku saat sosoknya muncul di ambang pintu. Saat itu aku berpikir, dia, pangeran yang akan menyelamatkanku dari menara sunyi setelah sebelumnya menghajar seekor monster dengan perkasa. Aku terus mengabaikan logika padahal telah berkali-kali cupid meminta maaf dan mengakui kelalaiannya. Lalu ketika camar mengabarkan duka dari seberang pulau, aku menangis sejadi-jadinya, menangisi sesuatu yang memang entah sejak semula. Kau tahu bagaimana rasanya ketika ribuan kembang api pecah di kepalamu, lalu bongkahan-bongkahan es di kutub selatan retak, menggelongsor, kemudian menghimpit dadamu hingga remuk.

Tanyaku tak pernah menemu jawabnya. Mengapa takdir sangat tidak adil padaku? Bukankah lima tahun itu bukan waktu yang sebentar? Mengapa aku malah disuruh menghitung airmataku sendiri? Aku mengutuk nyata yang berlalu begitu saja setelah merenggut mimpimimpiku tanpa iba. Kelak luka ini membias dalam matanya yang saga.

Tapi pada akhirnya aku menyerah karena apapun yang kulakukan takkan mengubah keadaan. Aku belajar menikmati deru, mengeja kata rela berkali-kali sambil menyimak desah napas yang tinggal satu-satu. Menyerah bukan berarti lemah, ujar bidadari penenun air mata. Terkadang menyerah berarti kuat untuk melangkah dan memulai hidup yang baru.

Luka itu kini kusimpan apik dalam buku harianku, lengkap dengan sebilah pisau yang pernah dia hujam, noda darah yang menghitam, juga air mata yang berkarat. Bukan maksudku mengenang apalagi mendeklamasikan luka itu kembali. Cuma sekedar penanda kalau aku pernah bertemu dengan pengembara sesat yang salah alamat. Pengingat untuk berhati-hati ketika jendela kamarku kembali diketuk, dan bila kelak itu tiba, aku harus meyakinkan diri kalau yang kujamu pangeran yang sesungguhnya, bukan pengembara yang linglung jalan pulang. Tersebab aku tidak ingin meringis sambil menyimak rerintik yang pecah di kaca jendelaku yang buram. Ah, benar kata mereka, aku tidak akan pernah menghargai pertemuan bila tidak pernah merasakan pedihnya berpisah, dan aku tidak pernah merasa memiliki bila tidak pernah kehilangan.

Hari ini hampir lalu, dan ternyata aku baik-baik saja. masih berkutat dengan pekerjaan yang membosankan, menyaksikan televisi yang tak henti bercerita tentang air mata, lalu menggores langit malam dengan selarik sajak pengantar tidur. Aku juga telah menyusun rencana, mulai besok, aku belajar merajut mimpi lagi, dan kali ini yang pasti.

Entah akan selalu menjadi entah dan tentu saja melahirkan angan yang entah dan aku tak mau menjadi entah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar