aku selalu sempatkan berdiri di tepi jendela, sekedar menyapa rinai gerimis yang berderai di luar sana. kerap kali pula kubiarkan jendelanya terbuka supaya angin dingin menerpa wajahku. mungkin juga agar tak terlalu pengap. malam lebih bisa memberi sejuk, setidaknya itu yang kurasakan.
kurebahkan tubuhku, pandanganku terbentur langit-langit kamar. kipas angin yang berputar malas, menjadi semacam hipnotis. sambil kuselaraskan degup jantungku dengan detak jarum jam dinding, aku tenggelam dalam pembicaraan dengan diriku sendiri. satu per satu tanya bergulir tanpa sempat kujawab. siapa aku? siapa dia? kenapa aku? kenapa dia?
malam semakin tinggi. di luar sana gerimis tinggal tersisa di ujung genteng. aku lelap dalam sebuah monolog sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar