Mengenai Saya

Foto saya
My Name : dr. Jopie Artha Alhitya Dane .Spa Kita hanya miliki waktu yang terbatas. Ketika cahaya masih bersinar di atas sebelum kau ditelan gelap Dan aku kembali terlelap Kau hanya semu katanya, tidak pernah nyata Tapi hanya dirimu yang begitu dekat denganku selain Tuhan dan Bundaku.

Minggu, 15 Mei 2011

Debar Dadaku dan Sajak tentang Rindu


Akankah rinduku membawamu kepelukanku?

Apakah rindu itu? Katakanlah bila kamu tahu, sayangku! Itulah selalu kata-kata yang kau ucapkan, dulu. Bila kau berlari aku mendekatimu, bila kau mendekat aku pura-pura tak melihatmu, aku gemetar.
Dada ini terus berdebar-debar. Ia tak mau kompromi terus berdentam, demikian keras tak ada yang mampu melarang. Dimanakah rindu menetap? Tahukah kau dimana ia tinggal? Bila saja kau tahu tempatnya bermukim, barangkali saja kau dapat mengajaknya berunding tentang banyak hal, agar hatimu dapat lebih tenang menjalani hidupmu. Ia selalu datang dari balik awan tempat yang tak kau duga, sembunyi di sana sebentar, pada saatnya ia kembali mencarimu.

Dada ini berdebar karena rindu untukmu...  Kangen....

Rindu itu bagai penyakit saja, ia suka sekali hadir ketika kau sedang bepergian jauh. Apakah kau mengalaminya juga, sayangku? Iya turut berjalan-jalan ke tempat-tempat jauh, ia turut naik pesawat terbang, ia hadir bersama penumpang. Ia turut minum kopi kegemaranmu, cappucino. Ketika seorang penumpang memesan minuman dingin, hatimu jengkel. Kesal. Tetapi ketika seorang penumpang meminta cappucino kesukaanmu, hatimu bersorak. Rindu itu datang lagi, seolah rindu menjadi obat dan sekaligus menjadi penyakit.

Ada segumpalan awan beriring-iringan menemanimu, awan itu berwarna putih kelabu, cumulonimbus*  bergumpal-gumpal di balik pesawat yang kau naiki. Dari balik jendela pesawat, ia mengintip sekedar ingin menyapa, hai.. Penumpang pun turut menyapa, “Haiii...” Dan burung-burung itu di bawah sana, demikian indah menari-nari, ia begitu gagah melesat-lesat ke segala arah, mencari sesuatu, nun di sana.

Ah, rindu itu... Selalu mengganggu, tetapi juga menyenangkan!

Langit selalu menemani awan-awan ini, bercanda ria di sana. Langit selalu menjadi petunjuk di balik sana, kadang ia berwarna cerah, seperti hatimu, kadang juga ia berwarna suram, juga seperti hatimu. Rindu ini selalu menjadi obat dan sekaligus menjadi penyakit. Menyusup ke relung nadi-nadimu, ke rongga yang tak terjangkau di jalinan miliaran syaraf-syarafmu.

Perjalanan ini demikian panjang, ingin rasanya kembali ke rumah, ke hatimu, tempat kau selalu menanti. Bersemayamnya butir-butir rindu. Kota yang mendendang lagu. Lampu-lampu jalanan selalu bersinar, lembut. Apakah kau dengar suara daun-daun berdesir-desir. Dengarkan musik dari pengamen jalanan yang selalu menyanyikan lagu kita itu. Tanganmu, memegang tanganku, erat-erat. Itu lagu dangdut, sayang! Lagumu, tak peduli kata orang, tapi kau suka bukan? Ah, aku teringat pada Titi Kamal ketika ia bermain di sebuah film kesukaanmu, itu film dangdut, sayang! “Mendadak Dangdut*”, filmmu, tak peduli kata orang, toh, kita pergi menontonnya, di sebuah mal kesukaanmu, Plasa Senayan.

Kau suka ke sana, ke cafe yang di pojokan itu, duduk di kursi itu, ke sudut pandang yang sama, dan di sana ada kopi kesukaanmu. Kopi tentang rindu. Kau selalu meminumnya. Orang-orang berlalu-lalang, kita terus meminum kopi kita, kopi rindu kita. Biarkan mereka berlalu-lalang, kita tak berhenti meminumnya. Kopi itu tentang kita, kopi rindu.

Dan aku teringat sepotong sajak Neruda*, tentang rindu kita.

Jangan pergi jauh, bahkan untuk sehari, karena -
karena - aku tidak tahu bagaimana mengatakannya: hari yang panjang
dan aku akan menunggu untukmu, seperti di sebuah stasiun kosong
ketika kereta yang berhenti di suatu tempat lain, tidur...

Jangan tinggalkan aku, bahkan untuk satu jam, karena
sedikit tetes kesedihan semua akan berjalan bersama-sama,
asap yang membubung di atap rumah akan menghanyut
ke dalam diriku, mencekik hatiku yang hilang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar